Membumikan Teknologi Karakter Pedesaan
Oleh Siti Nuryati
Teknologi Tepat Guna (TTG) telah lama diyakini sebagai teknologi yang cocok dengan kebutuhan masyarakat. TTG biasanya dipakai sebagai istilah untuk teknologi yang tidak terlalu mahal, tidak perlu perawatan yang rumit, dikenal ramah lingkungan dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat secara mudah, murah serta menghasilkan nilai tambah (added value) dari aspek ekonomi dan lingkungan hidup.
TTG meliputi teknologi yang bisa membantu proses pengolahan makanan (seperti mesin sortasi buah, pengering produk pertanian); pengemasan produk (seperti pengemas bubuk, pasta, tablet ataupun cairan); serta teknologi tepat guna industri, terutama usaha kecil menengah (UKM).
Penemuan-penemuan baru mengenai TTG cukup pesat, baik yang ditemukan oleh masyarakat, dunia usaha, perguruan tinggi, lembaga-lembaga penelitian dan pengembangan milik pemerintah maupun swasta. Namun, sayangnya, pemanfaatan TTG masih belum dirasakan masyarakat di daerah pedesaan. Masyarakat belum dapat mengakses secara optimal temuan-temuan tersebut untuk dapat diambil manfaatnya. Padahal, daerah pedesaan memiliki potensi sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) yang berlimpah untuk diberdayakan secara maksimal. Di sisi lain, kebutuhan terhadap inovasi teknologi sudah sangat mendesak.
Bagi kalangan UKM pun, penguasaan teknologi mutlak diperlukan. Ini berkaitan dengan persaingan usaha yang semakin ketat memasuki era pasar bebas, khususnya dari segi mutu, proses produksi dan pemasaran. Kebanyakan pengusaha UKM, petani, nelayan dan masyarakat pengguna lainnya ketika dihadapkan pada hal-hal yang berbau teknologi seringkali merasa alergi akibat ketidakberdayaan mereka mengadopsi teknologi yang ditawarkan. Ini antara lain disebabkan kurangnya informasi tentang pentingnya manfaat teknologi untuk mendukung usaha mereka.
Gaung teknologi tepat guna yang belum dirasakan selama ini oleh masyarakat pedesaan karena minimnya dukungan pemerintah untuk menstimulasi masyarakat, baik dari sisi pendanaan maupun teknologi. Akibatnya, potensi-potensi yang semestinya bisa dimanfaatkan masyarakat pedesaan, menjadi hilang dan tidak tergali.
Semestinya pemerintah dapat memfasilitasi masyarakat pedesaan, dengan pembangunan infrastruktur seperti jalan dan bangunan pabrik, yang terencana secara sistematis, agar masyarakat terdorong untuk menggalakkan teknologi tepat guna. Langkah yang dapat dilakukan pemerintah, antara lain dengan mengalokasikan anggaran khusus, untuk membangkitkan industri-industri berbasis TTG. Ironisnya, yang selama ini lebih banyak berperan aktif dan menjadi perintis adalah bangsa asing, seperti Jepang yang membantu dalam bentuk grant ke sejumlah daerah guna pemanfaatan TTG ini.
Padahal, jauh sebelum dilaksanakannya era otonomi daerah tahun 2001, Kementerian Pertanian (dulu Departemen Pertanian) sejak 1994 telah mendesentralisasikan kegiatan pengkajian di daerah melalui pembentukan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP). Tujuan utamanya, untuk mempercepat transfer teknologi dari lembaga penelitian ke pengguna (petani) melalui perakitan teknologi spesifik lokasi. Pemerintah daerah pun secara intensif dapat memanfaatkan BPTP untuk mendukung pelaksanaan pembangunan pertanian di daerah, sehingga program pengkajian dan diseminasi diselaraskan dengan kebutuhan stakeholder dan praktisi agribisnis, termasuk petani di daerah.
Lembaga riset di Indonesia harus lebih dimaksimalkan lagi dalam memberikan dukungan teknologi. Balai Besar Pengembangan Teknologi Tepat Guna (BBP-TTG) yang secara formal menyandang nama ”teknologi tepat guna” sejak 1986, mestinya diposisikan, tidak hanya sebagai pendukung, tapi juga pioner perambah jalan menuju masyarakat sejahtera. Keberadaan balai ini seharusnya mampu memberikan dukungan konkret dan konsisten kepada masyarakat, pengusaha kecil, menengah dan koperasi dengan mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki.
Belajar dari sejumlah negara seperti di Eropa Timur dan Jerman Utara, mereka sudah mengembangkan desa mandiri dengan konsep Eco-House. Yakni, suatu konsep desa mandiri yang menyeimbangkan antara ketersediaan infrastruktur, kesempatan kerja, pendidikan, kesehatan, dan lingkungan berimbang.
Bagaimana di Indonesia? Desa Mandiri yang pernah dicanangkan Presiden, beberapa waktu lalu, kini hampir tak terdengar kabarnya. Meski, ragam peraturan di antaranya, Inpres telah terbit untuk mengatur Penerapan dan Pengembangan TTG, namun proses percepatan pemulihan ekonomi nasional serta peningkatan kemajuan pedesaan dalam menghadapi era persaingan global yang diusung dalam konsideran Inpres tersebut tak jua mendorong percepatan pembangunan pedesaan melalui pengembangan TTG.
Padahal dalam Inpres tersebut diinstruksikan kepada mendagri, menteri terkait, Kepala Bapenas serta gubernur dan bupati/walikota se-Indonesia untuk melaksanakan pemberdayaan masyarakat melalui penerapan dan pengembangan TTG sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah untuk mendorong, meningkatkan, dan mengembangkan perekonomian masyarakat, memeratakan pembangunan dan mengentaskan kemiskinan serta pengembangan wilayah.
Namun tampaknya Inpres tersebut tak bernasib baik. Terbukti, hingga kini pengembangan TTG belum banyak dirasakan masyarakat pedesaan dalam upaya pengembangan dan pemerataan ekonomi. Padahal, pemerintah sebenarnya melalui konsep desa mandiri yang dikembangkan pemerintah bisa diprioritaskan penggunaan teknologi tepat guna berbasis masyarakat pedesaan. Untuk itu, diperlukan usaha pemberdayaan masyarakat dalam rangka memberikan akses kepada masyarakat guna memperoleh informasi tentang TTG sehingga masyarakat mempunyai kemampuan memecahkan masalah untuk meningkatkan kapasitas produksi dan nilai tambah produknya secara ekonomi. ***
Penulis adalah alumnus Pascasarjana Fakultas
Ekologi Manusia IPB,
penerima Anugerah
Penulis Muda 2009
Kementan RI.
Ekologi Manusia IPB,
penerima Anugerah
Penulis Muda 2009
Kementan RI.
Sumber : http://www.suarakarya.id